JAKARTA, KOMPAS – Kalangan pengusaha logistik
menghadapi ketidakpastian terkait gangguan cuaca dan kesemrawutan di kawasan
Tanjung Priok, Jakarta Utra. Arus barng terhambat banjir dan kemacetan lalu
lintas yang kerap menghinggapi jantung ekonomi Indonesia tersebut.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita,
Kamis (6/2), mengatakan, Pelabuhan Tanjung Priok menjadi kunci distribusi
barang dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa serta dari Indonesia ke luar negeri
dan sebaliknya. Diperkirakan 90 persen kegiatan bongkar muat produk impor dan
70 persen produk ekspor Indonesia didistribusikan melalui Pelabuhan Tanjung
Priok.
Meskipun diakui sebagai kawasan vital jantung
ekonomi Indonesia, sejumlah kendala seperti tak tertangani serius. Tiga pekan
terakhir, misalnya, banjir menggenangi jalan-jalan utama dari dan ke pelabuhan.
Genangan menyebabkan kemacetan luar biasa. Arus kendaraan terkunci hingga
beberapa jam.
Di jalur timur, truk-truk pengangkut peti kemas
terjebak kemacetan di Jalan Cakung Cilincing. Genangan banjir hingga ketinggian
50-60 cm memutus jalur untuk kendaraan kecil.
Di jalur tengah, kendaraan tersendat di Jalan Yos
Sudarso. Genangan yang terjadi di sejumlah titik, antara lain di sekitar Sunter
dan Kelapa Gading, menghambat arus lalu lintas. Pada Rabu, misalnya, jalur
non-tol terputus dan pengendara sepeda motor diperkenankan melaju di jalur tol.
Jalur barat pun tak luput dari gangguan. Genangan rob dan banjir serta
kemacetan sering terjadi di Jalan Lodan Raya dan Jalan RE Martadinata.
Dalam tiga pekan terakhir, kemacetan di kawasan itu
semakin masif. Selain genangan banjir dan kerusakan jalan, arus tersendat
karena bongkar muat terhambat di pelabuhan. Sopir memarkir truk di pinggir
jalan menunggu proses bongkar muat kapal. Mayoritas lain harus bersabar untuk
masuk atau keluar pelabuhan.
“Proses di dalam pelabuhan dan lalu lintas dari dan
menuju pelabuhan tidak bisa dipastikan waktunya. Sejumlah anggota yang
mengekspor barang ke Singapura, misalnya, menjanjikan waktu 7-8 minggu, tetapi
lebih lama dari biasanya 3-4 minggu karena situasinya serba tak pasti,” kata
Zaldy.
Pengiriman barang-barang produksi industri
manufaktur dan pangan dari Jabodetabek ke kota-kota Pulau Jawa dan luar Pulau
Jawa terlambat. Sebaliknya, bahan pangan dan bahan baku industri terlambat tiba
di sentra-sentar industri Jabodetabek. Situasi ini dipastikan memicu inflasi.
Situasi
pelabuhan
Selain gangguan distribusi, ujar Zaldy, kepercayaan
penguna jasa turun akibat situasi internal pengelola pelabuhan. “Faktor risiko
distribusi dihitung semakin besar akibat hambatan pengiriman serta konflik
internal perusahaan,” ujarnya.
Desember 2013 dan Januari 2014, Serikat Pekerja
Pelabuhan Indonesia (SPPI) II mogok kerja massal menuntut perbaikan pengelolaan
perusahaan. Menurut Mohamad Iqbal, mantan Assisten Vice President (AVP) Finance
PT. Pelindo II, seperti beberapa hari menjelang mogok bersama pada hari Senin (23/12)
dan selasa (24/12), para pengguna jasa kepelabuhanan mempercepat waktu bongkar
muat barang. Kondisi itu terlihat dari melonjaknya volume kendaraan yang masuk
dan keluar pelabuhan.
“Kemacetan sudah terjadi sejak Rabu sore. Kemacetan
terurai pada Kamis pukul 01.30. Tiga jam kemudian jalan macet lagi, terutama di
dalam kawasan. Truk mengantre keluar, sedangkan di luar kawasan truk mengantre
masuk,” kata Iqbal.
Sebelumnya, Sekretaris Gabungan Importir Nasional
Seluruh Indonesia Achmad Ridwan Tento berpendapat, mogok kerja tidak secara
langsung berpengaruh pada distribusi barang. Namun, situasi internal membuat
pengimpor dan rekanan di luar negeri menjadi tidak nyaman.
“Ada kekhawatirkan mogok kerja berdampak negatif,
tetapi tidak terasa karena proses bongkar berlangsung di JICT (Jakarta
International Container Terminal) dan TPK (Terminal Peti Kemas) Koja, bukan di
lokasi mogok kerja di Termibal 1-3,” kata Ridwan Tento.
Ongkos naik
Akumulasi sejumlah faktor itu memicu kenaikan ongkos
distribusi barang. Dampaknya, kata Zaldy, ongkos operasional naik rata-rata 10
persen. Kondisi itu membuat waktu tempuh pengiriman ke pelabuhan dua hingga
tiga kali lebih lama. Sopir sering kali terpaksa menginap di perjalanan.
Pengiriman barang dari Jakarta ke Surabaya melalui
jalur pantura yang biasanya memakan waktu 1-2 hari, satu bulan ini rata-rata
butuh 3-5 hari. Ada sejumlah titik jalan tergenang banjir, seperti di Sabang
dan Indramayu (Jawa Barat) serta Kudus dan Pati (Jawa Tengah), yang tidak bisa
dilalui kendaraan.
Situasi ini menekan pendapatan sopir. Ketua Organda
Angkutan Khusus Pelabuhan Gemilang Tarigan menyebutkan, akibat terlambat tiba
di pelabuhan, sopir terkadang harus membayar denda setidaknya Rp. 350.000 per
kontainer.
Puncak kemacetan terjadi Rabu-Sabtu ketika bongkar
muat berlangsung dalam skala besar di Pelabuhan Tanjung Priok. “Satu truk
biasanya bisa 2-3 rit per hari. Sekarang, satu rit saja sulit tercapat,”
ujarnya. (MKN)