Keinginan tiga operator terminal peti kemas di
Pelabuhan Tanjung Priok menaikkan biaya kontainer handling charge, di tengah
akan berakhirnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyulut adu
agurmentasi dari kalangan pelaku jasa transportasi dan logistik.
Melalui suratnya kepada Menteri Perhubungan E.E.
Mangindaan pada April 2014, PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia
Port Corporation (IPC) mengusulkan besaran container handling charge (CHC) di
tiga terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok dinaikkan tahun ini.
Ketiga terminal itu adalah PT. Jakarta International
Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, yang sebagian
sahamnya dimiliki Hutchison Ports Indonesia, serta PT. Mustika Alam Lestari
(MAL).
PT. Pelindo II mengusulkan CHC peti kemas 20 kaki di
tiga terminal itu dinaikkan menjadi US$ 93 per boks dari sebelumnya US$ 83 per
boks, sedangkan biaya tambahan (surchage) menjadi US$ 17 per boks dari sebelumnya
US$ 12 per boks.
Biaya CHC merupakan tagihan operator terminal kepada
perusahaan pelayaran untuk jasa bongkar muat. Bila CHC ditambah surcharge
digabungkan maka disebit terminal handliing charges (THC) yang merupakan total tagihan
perusahaan pelayaran kepada pemilik barang selain ongkos angkut untuk menutupi
semua biaya operasional di terminal.
Kendati usulan penaikan CHC dan surcharge sudah
disteujui asosiasi penyedia dan pengguna jasa di level Tanjung Priok, tentu
saja ada pro dan kontra tetap muncul.
Salah satu yang mendukung penaikan CHC dan surcharge
itu datang dari Asosiasi Pengelola Terminal Petikemas Indonesia (APTPI).
Menurut Sekretaris APTPI Paul Krisnadi, rencana
penaikan CHC atau tarif bongkar muat peti kemas internasional sudah disetujui
seluruh asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Memang ada pembicaraan mengenai kenaikan CHC
tersebut dan sudah disetujui oleh semua asosiasi pengguna jasa,” ujarnya,
Selasa (13/5).
Paul yang juga menjabat General Manager PT. MAL
menyebutkan THC yang merupakan penjumlahan biaya CHC dan surcharge di Pelabuhan
Tanjung Priok masih lebih murah dibandingkan dengan THC di sejumlah pelabuhan
utama di Asia.
Pelabuhan Singapura saja mematok biaya THC ukuran 20
kaki sebesar US$ 151 per boks, Thailand US$ 110 per boks, Filipina US$ 130 per
boks, Hong Kong US$ 206 per boks dan Malaysia sekitar US$ 108 per boks.
Dengan penaikan tarif itu, APTPI berharap investasi
dana untuk pembaruan peralatan dan sistem layanan jasa akan lebih ringan.
MASIH MAHAL
Di sisi lain, terdapat pelaku logistik yang tidak
secara bulat menerima keinginan operator pelabuhan tersebut. Salah satunya
datang dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI). Ketua Umum ALI Zaldy Ilham
Masita menyatakan usulan penaikan THC itu tak sejalan dengan kehendak
menciptakan biaya logistik yang rendah.
Selama ini, Tanjung Priok merupakan gantungan hidup
orang banyak karena pelabuhan itu berkontribusi bagi kelancaran sekitar 70%
arus barang ekspor-impor Indonesia, dengan volume mencapai 6,4 juta TEUs per
tahun.
Zaldy juga merilis data berbeda seputar besaran
biaya yang dikenakan para operator terminal. Berdasarkan data itu, tarif CHC di
Tanjung Priok masih membumbung tinggi dibandingkan dengan besaran CHC di
beberapa pelabuhan Asia.
Data itu berupaya menggunakan asumsi rendahnya tarif
jasa kepelabuhanan di pelabuhan yang dikelola PT. Pelindo II.
Dia mencontohkan biaya CHC tanpa surcharge peti
kemas ukuran 20 kaki di Pelabuhan Laem Cha Bang Thailand hanya US$ 53 per boks,
sedangkan Pelabuhan Klang Malaysia sekitar US$ 76 per boks.
Dia juga memperkirakan keuntungan yang diterima
operator terminal ikut berlipat saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Sebaliknya, biaya operasional dan SDM di pelabuhan dalam
bentuk rupiah.
“Jadi kalau alasannya investasi, tidak memerlukan
penaikan tarif karena mereka [operator terminal] sudah untung sebab yang
memungut tarif dengan dolar AS,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (25/5).
Alasan ALI sejalan dengan hasil penelitian Bank
Dunia yang menyebutkan biaya ekspor-impor Indonesia masih lebih tinggi
ketimbang beberapa negara Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Singapura.
Sementara itu, Direktur National Maritime Institute
(Namarin) Siswanto Rusdi bisa memahami penaikan CHC di Tanjung Priok. Selama ini,
tarif jasa kepelabuhanan tidak lebih dari 0,01% dari nilai barang per
kontainer.
Artinya, besaran penaikan tarif jasa oleh operator
terminal tidak berdampak besar bagi peningkatan biaya ekspor dan impor.
Terlepas dari pro dan kontra atas respons penaikan
CHC di Tanjung Priok, masyarakat selaku pengguna produk akhir barang yang diimpor
pasti terdampak atas rencana penaikan biaya bongkar muat itu.
Selama ini, pemilik barang melimpahkan beban biaya
transportasi ke harga barang yang dibeli konsumen.
Dari sisi PT. Pelindo II yang gencar menggandeng
investor asing dalam pengelolaan terminal ingin menawarkan keuntungan saat
mengelola terminal dengan menjamin adanya kenaikan secara berkala tarif
kepelabuhanan.
Pertanyaannya, bagimana respons pemerintah atas
persoalan pro dan kontra CHC di Pelabuhan Tanjung Priok? Kita hanya berharap
Menhub E.E. Mangindaan yang akan mengakhiri masa jabatan di Kabinet Indonesia
Bersama Jilid II tidak terjebak dalam wacana pro dan kontra itu.