JAKARTA – Kementerian Perhubungan belum memberikan
persetujuan rencana penaikan biaya bongkar muat peti kemas internasional atau
container handling charge (CHC) masih dalam kajian Direktorat Pengerukan dan
Pelabuhan.
Kajian ini, tegasnya, membahas secara komprehensif
dasar usulan penaikan hingga dampak tarif baru CHC itu terhadap total biaya
logistik secara nasional.
“Kami belum mengisyaratkan [akan naik]. Sekarang
masih dikaji sedalam-dalamnya,” ujarnya, Rabu (28/5).
Namun, Bobby memaklumi atas usulan PT. Pelabuhan
Indonesia (Pelindo) II untuk menaikkan biaya CHC mengingat besaran tarif itu
tidak mengalami kenaikan sejak 2008.
Dia melanjutkan pihaknya tetap berkeinginan jangan
sampai penaikan tarif CHC itu justru kontradiktif terhadap rencana besar
menurunkan biaya logistik secara nasional.
PT. Pelindo II per April 2014 telah mengusulkan
penyesuaian besaran CHC di tiga terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok
dinaikkan pada tahun ini.
Ketiga terminal itu adalah PT. Jakarta International
Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, yang sebagian
sahamnya dimiliki Hucthison Port Indonesia (HPI) serta PT. Mustika Alam Lestari
(MAL).
PT. Pelindo II mengusulkan CHC peti kemas 20 kaki di
tiga terminal itu dinaikkan menjadi US$ 93 per boks dari sebelumnya US$ 83 per
boks, sedangkan biaya tambahan (surcharge) menjadi US$ 17 per boks yang
sebelumnya US$ 12 per boks.
Biaya CHC merupakan tagihan operator terminal kepada
perusahaan pelayaran untuk jasa bongkar muat. Bila CHC ditambah surcharge maka
disebut terminal handling charges (THC) yang merupakan total tagihan perusahaan
pelayaran kepada pemilik barang untuk menutupi semua biaya operasional di terminal.
Bobby menilai rencana penaikan tarif CHC semestinya
diikuti dengan peningkatan mutu pelayanan pelabuhan oleh PT. Pelindo II.
Pelayanan itu salah satunya adalah menurunkan waktu inap kontainer di pelabuhan
atau dwelling time.
Dia juga menegaskan rencana penaikan itu tidak ada
hubungannya dengan agenda pergantian pemerintahan. Penaikan itu diusulkan PT.
Pelindo II, sedangkan Kemenhub hanya melakukan kaijan dan mengambil keputusan.
“Tidak ada sangkutpaut [pergantian pemerintahan]. Juni bakal ada keputusan
karena jawaban usulan,” ujarnya.
BIAYA LOGISTIK
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Logistik
Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita memprediksi akan terjadi lojakan biaya
logistik hingga Rp. 800 miliar jika Kemenhub menyetujui rencana penaikkan tarif
CHC sebesar 10%.
Prediksi itu mengacu kepada kapasitas atau
throughput Pelabuhan Tanjung Priok yang hampir 7 juta TEUs dan sebagaian besar
adalah kegiatan eskpor dan impor.
Usulan penaikan 10%, imbuhnya, akan meningkatkan
biaya logistik sebesar Rp. 800 miliar pada tahun ini, bahkan meningkat menjadi
Rp. 1 triliun pada 2016.
“Kenaikan biaya logistik ini tidak kecil apalagi
posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling boros biaya
logistiknya,” katanya.
Dia berharap semua pihak yang berkomitmen menekan
biaya logistik harus berusaha tidak menaikkan biaya logistik sekecil apapun.
Zaldy meminta Kemenhub memerhatikan kenaikan biaya
logistik yang dipicu penaikan CHC yang pada gilirannya berpengaruh ke
masyarakat luas.
Kenaikan CHC, imbuhnya, hanya menambah keuntungan
operator pelabuhan tapi menjadikan daya saing ekonomi Indonesia terpuruk.
Di sisi lain, ALI meminta pemerintah segera mengubah
penggunaan mata uang dolar AS ke rupiah dalam transaksi CHC. “Sangat aneh kalau
Indonesia masih memakai US$ dibandingkan negara tetangga yang memakai mata uang
lokal,” ujarnya.
Borosnya biaya logistik di Indonesia, paparnya,
dimulai dari pabrik sampai ke pelabuhan dengan banyaknya pungutan liar,
kemacetan, hingga lambatnya proses penanganan peti kemas di pelabuhan.
Dia menilai pemerintah seharusnya melakukan
moratorium kenaikan biaya logistik sekecil apapun untuk menurunkan biaya
logistik secara signifikan.
Dalam Perpres No. 26/2012 tentang Sistem Logistik
Nasional (Sislognas) menargetkan pengurangan biaya logistik hingga 5% sehingga
perlu dukungan semua pihak termasuk dari operator pelabuhan.
Untuk membantu menurunkan biaya logistik,
sambungnya, pemerintah harus menekan tarif di pelabuhan, khususnya Pelabuhan
Tanjung Priok dan memaksimalkan fungsi pelabuhan darat atau dry port di
Cikatang.