Kompas, Kamis 12 Desember 2019
Kapasitas logistik di Indonesia sulit meningkat karena sebagian proses operasional masih manual. Padahal, industri logistik berpeluang tumbuh.
JAKARTA, KOMPAS – Potensi pertumbuhan industri logistik terbuka seiring dengan naiknya transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Namun, industri logistik di Indonesia belum efisien.
Diperkirakan, belanja logistik dunia mencapai 12 triliun dollar AS pada 2023. Belanja logistik tumbuh di atas 10 persen per tahun antara lain di India (13 persen), China (14 persen), di Afrika (15 persen). Sementara, di Eropa tumbuh 9,5 persen dan AS tumbuh 8,2 persen.
Proyeksi itu dipaparkan Frost & Sullivan di Jakarta, Rabu (11/12/19). Dalam proyeksi itu juga disebutkan, industri logistik di Indonesia tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun sampai dengan 2022.
Konsultan pada Keilmuan Transportasi & Logistik Frost & Sullivan, Mohamed Najib, menyampaikan, pasar logistik dan transportasi di Indonesia pada 2020 diperkirakan mencapai nilai 80 miliar dollar AS. Indonesia akan menjadi salah satu pasar logistik terbesar di dunia karena 60 persen penduduknya akan tinggal di perkotaan pada 2025.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita menyampaikan pasar logistik 80 miliar dollar AS pada 2020 itu baru mencakup 30 persen dari potensi, yang diperkirakan mencapai 240 miliar dollar AS.
Menurut Zaldy, potensi pasar logistik di Indonesia sangat besar. Pertumbuhan logistik berkisar 12-13 persen per tahun atau berada di atas tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, keuntungan perusahaan logistik tergerus karena persaingan ketat perusahaan logistik, antara lain promosi berupa gratis ongkos kirim.
Sistem
Zaldy menambahkan, pengembangan logistik Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Ketertinggalan logistik belum bisa menjawab kebutuhan revolusi industri 4.0 (industri yang banyak dikaitkan dengan teknologi digital). Industri logistik di Indonesia masih ada level 2.0, yakni pada tahap standardisasi.
“Saat ini standardisasi sistem logistik belum beres. Otomasi baru jalan jika ada standardisasi. Dibutuhkan solusi yang radikal untuk menyelesaikan persoalan logistik,” kata Zaldy.
Persoalan otomasi yang menghambat perkembangan bisnis logistik ekspres di samping tinkat persaingan juga ketat. Dengan volume pengiriman 4 juta – 5 juta barang per hari dan tahun depan diprediksi menjadi 7 juta per hari, sejauh ini belum ada perusahaan logistik ekspres di Indonesia yang bisa meningkatkan kapasitas untuk pengiriman sebanyak itu.
Proses operasional masih manual. Ini menghambat peningkatan kapasitas logistik. Melalui otomasi, biaya operasional dapat ditekan hingga 25 persen dan bisa mengakomodasi pengiriman barang dengan frekuensi tinggi.
Sejumlah perusahaan e-dagang menyediakan kurir sendiri. “Makin banyak perusahaan e-dagang buka kurir sendiri karena perusahaan eksternal logistik ekspres tak mampu menaikkan kapasitas,” ujar Zaldy.
Secara terpisah, Direktur Shopee Indonesia Christin Djuarto mengatakan, pihaknya bersiap menyabut Harbolnas pada Kamis ini. Pihaknya mengantisipasi lonjakan pengiriman dengan cara menyediakan kurir sendiri, yakni Shopee express di samping bekerja sama dengan mitra logistik. (LKT)